GEISHA

Rabu, 01 Februari 2012


Seorang geisha adalah seorang gadis yang sangat lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni; kelihatannya sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi; gerakanya gemulai dan tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal; percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme dan jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada habisnya; kesederhanannya menjadi contoh; kepuasannya tidak terukur. – Captain Frank Brinkley.
Geisha, bersamaan dengan Puncak Fuji dan bunga cherry, telah menjadi simbol Jepang sejak Jepang terbuka pada dunia Barat tahun 1850-an. Siapakah Geisha? Kita sering mendengar bahwa geisha yang sebenarnya bukanlah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Geisha berarti ”orang seni” namun yang mempunyai ketrampilan sebagai entertainer. Secara tradisional pemunculannya sangat dikaitkan dengan erotisme, namun seksualitas geisha tidak secara langsung dijual dan sangat sulit untuk didapatkan. Sebenarnya, jawaban atas pertanyaan ”Siapa Gesiha” berbeda secara geografis dan historis.
Daya tarik Barat atas geisha dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Opera Madame Butterfly tahun 1906 oleh Puccini, meskipun sebenarnya bukanlah tentang geisha, namun mungkin menciptakan stereotipe tentang kecantikan ketimuran yang lemah sebagaimana dimaksudkan oleh orang-orang Barat. Sesudah era Perang Dunia II membawa wajah baru bagi Jepang, Shierly MacLain memerankan seorang geisha dalam film My Geisha tahun 1962. Bahkan seorang Madonna pernah mengenakan pakaian geisha post-modern.
Orang Jepang sendiri telah menjalankan peranya dalam mempromosikan geisha sebagai simbul Jepang kepada dunia luas. Geisha sendiri telah mendokasi pakaianya untuk mengenalkan Jepang sejak poster traveller Jepang pertama kali dicetak. Poster tari geisha pertama kali telah dicetak secara spektakular dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Saat ini, banyak orang Jepang sendiri yang setuju bahwa geisha mewakili unsur feminisme selain fakta bahwa sangat sedikit orang Jepang sendiri yang berhubungan dengan geisha karena perjamuan gesiha sangat mahal.

PENGHIBUR YANG MEMIKAT PADA JAMAN DULU

Nama Geisha menempati waktu singkat dalam sejarah jepang yang panjang. Geisha seperti yang dikenal muncul beberapa ratus tahun yang lalu. Namun demikian wanita ”bertipe” geisha – wanita yang menghibur dan kemudian menawarkan tubuhnya kepada pria – kembali pada masa awal di Jepang. Tergantung pada tingkat seninya, sensitifitasnya dan kepandaianya, wanita-wanita ini, yang kemudian hari menjadi seperti geisha, bisa menjadi terkenal dan bahkan berkuasa.
Pendahulu geisha ditemukan di antara saburuko (seorang yang melayani) yang muncul pada akhir abad ke 7. Wanita-wanita ini, yang dipaksa berkelana sebagai akibat dari penempatan sosial yang keliru, memperdagangkan seksualitas mereka agar dapat survive. Di antara mereka terdapat penari-penari dan penyanyi berbakat yang diundang untuk acara kumpul-kumpul para aristokrat. Keterangan tentang wanita-wanta ini disebutkan dalam puisi-puisi kuno Jepang.
Dari abad 12 sampai abad 14 muncul kelompok PSK baru yang disebut shirabyoshi. Mereka merupakan penyanyi dan penari trampil yang mengenakan pakaian model Shinto dan memainkan drum dan seruling. Sering kali mereka berasal dari keluarga aristokrat yang jatuh dan mereka merupakan hasil dari kehebohan sosial. Nama dari beberapa wanita ini telah menjadi legenda. Yang paling terkenal adalah Shizuka, yang menjadi teman prajurit Jepang yang paling dicintai rakyat yang bernama Yoshitsune. Yang lain lagi adalah Kemegiku yang menjadi selir Kaisar Gotoba. Beberapa legenda, hymne dan balada kuno dan tradisi mereka kemudian diambil oleh teater Noh.



KEHIDUPAN SEORANG GEISHA



Seorang geisha tidak dapat bertahan tanpa memelihara jaringan yang kuat diantara anggota komunitasnya. Apakah hubungan ini merupakan hubungan positif atau negatif, mereka tetap mendukung geisha secara pribadi. Penggunaan nama geisha yang terkenal adalah hal penting bagi mereka untuk menunjukkan jenis dukungan keluarga yang diperlukan. Keberhasilan seorang geisha seperti karakter Sayuri bukan hanya karena kecantikannya atau bakatnya tetapi juga karena dukungan “kakaknya” yang bernama Mameha.
Dalam pelatihan karirnya, ada ritual-ritual tertentu yang lazim diajarkan kepada geisha pada masa sebelum perang. Geisha mewarisi pelatihan kehidupan ini dari yujo, yaitu pelacur sebelum mereka.
Seorang geisha biasanya dijual sebagai seorang gadis kecil ketika keluarganya tidak mampu membiayainya. Dia disebut sebagai seorang shikomi, seorang pelayan yang terikat yang mengerjakan pekerjaan kasar. Rumahnya dikendalikan oleh seseorangg yang disebut okasan (ibu), biasanya pensiunan geisha. Seorang shikomi harus memberikan perhatian khusus pada keperluan-keperluan seorang geisha penuh yang menghasilkan uang untuk rumah tersebut. Jika gadis itu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia berbakat, dia mulai belajar tari dan musik di sekolah geisha dimulai kira-kira pada usia 7 tahun. Setelah menghabiskan setengah hari di sekolah, di waktu yang tersisa lainnya dia harus mempraktekkan selama berjam-jam dan harus juga menyelesaikan tugas-tugasnya.
Sebagai seorang remaja, jika sudah siap, dia menjadi magang geisha, yang di Kyoto disebut maiko dan di Tokyo disebut oshaku. Dia didandani dengan kimono terang dengan lengan panjang. Dia mulai mengenakan rambut model “belah-persik” dimana rambut di gulungan rambutnya membentuk segitiga kecil. Agar bisa menjadi seorang pemagang, dia harus mempunyai seorang onesan (kakak perempuan) yang bersedia mengajaknya pada tugas-tugasnya sehingga dia bisa belajar melalui minarai (observasi). Seorang geisha dan pemagang kemudian pergi ke upacara persaudaraan yang menyerupai pernikahan, saling menukar tiga teguk sake. Hal ini disebut san san kudo.
Seorang geisha akan menjadi milik seseorang yang menjadi penawar tertinggi mizuage-nya, kehilangan virginitasnya dan menjadi wanita sepenuhnya. Sebuah upacara meneguk sake akan dilaksanakan kembali. Sebagai tanda atas perubahan yang signifikan ini sebuah tanda merah akan ditempatkan di rambutnya. Seperti halnya perubahan untuk pakaian wanita yang terjadi setelah perkawinan orang Jepang, hal ini menjadikan perubahan seorang geisha sebagai bukti untuk dilihat semua orang.
Ketika seorang geisha mencapai status penuh, dia akan eriakae o suru (mengganti tanda di lehernya). Ini berarti bahwa dia akan mengganti bagian warna putih di komino bagian bawahnya dengan sebagian warna merah di bawah pakaiannya. Dia mengenakanya dengan cara ini ketika dia diperkenalkan. Pada titik ini dia mengganti kimononya dengan model yang lebih sederhana model lengan pendek untuk wanita dewasa.
Mendapatkan status penuh sebagai seorang geisha hampir selalu terlibat penuh dengan majikannya atau danna. Dia akan memberikan dukungan finansial, bahkan kadang-kadang cukup untuk membuat sebuah rumah.
Hal yang paling menentukan dalam karir seorang geisha adalah keputusanya untuk menikah. Mereka mungkin juga meninggalkan hanamachi dan menjadi istri simpanan sepenuhnya. Namun demikian banyak geisha yang tetap tinggal di tempat hiburan dan menjadi okasan dan mengatur rumah geishanya sendiri. Banyak geisha yang sesudah pernikahanya gagal atau hancur kembali pada kehidupan sebelumnya yang dirasa paling nyaman.





DAYA TARIK SEORANG GEISHA

Kata “menarik” dapat berbeda tergantung pada budaya dan masanya. Memang seorang pengunjung Amerika cukup beruntung dapat mengunjungi sebuah pesta di Dion daerah Kyoto dimana geisha mungkin menjadi mengecewakan. Hal yang mereka catat adalah bahwa geisha terlalu dibuat-buat. Bedak putih di wajahnya terlalu tebal, senyumnya tidak menarik dan gerakanya aneh. Nyanyian mereka tampak aneh dan musik samishennya tanpa melodi. Tariannya, yang sangat berbeda dengan irama di dunia barat bisa terlihat tidak bagus. Berbeda jauh dengan masa pada saat geisha muncul, banyak generasi muda Jepang yang juga tidak memberikan apresiasi kepada geisha. Mereka mungkin sudah biasa dengan gerakan dan melodi dari geisha, namun mungkin mereka berfikir bahwa itu semua terlalu ketinggalan jaman. Namun bagi orang asing yang open mind dan bagi orang Jepang yang bercitarasa masa lalu atmosfir pesta geisha yang mengkombinasikan warna, harmoni, suara dan gerakan dengan iteligensi dan humor tidaklah demikian. Sensibilitasnya menunjukkan intimasi sosial.


Daya tarik geisha menyeimbangkan antara ketulusan kasih sayang dan kesenian. Hal ini terjadi tanpa menafikan bahwa geisha harus mempunyai sensualitas tertentu. Kata untuk ini dalam bahasa jepang adalah iroke, atau secara harfiah berarti “semangat warna”. Ini bukan semata-mata daya tarik seksual, tapi rasa seni yang diciptakan dalam berpakaian dan bahasa tubuh. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas dalam percakapan yang saling memberi dan menerima.
Sekitar tahun 1800 ketika geisha tampil ke depan, mereka menunjukan model yang berani. Geisha menjadi personifikasi dari iki, sebuah kata yang masih digunakan hingga saat ini untuk menggambarkan sikap dingin. Secara kasual ini memang elegan, kekuatan pemahaman tentang bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Seratus limapuluh tahun lalu seorang geisha mengenakan make up terang, komono dengan warna yang kental dan pola-pola sederhana, dengan obi tergantung di punggung. Penampilan geisha yang sederhana adalah bagian dari peraturan yang ditujukan agar geisha tidak menyaingi yujo, tapi malah salah kaprah. Penampilan geisha sangat berlawanan dengan yujo membuat yujo tampak ketinggalan jaman. Geisha hanya mempunyai beberapa pin di rambut, sedangkan yujo tampak seperti dikerubuti serangga. Seorang yujo yang ditandai dengan warna perak dan emas dengan naga menghadap ke atas atau ditaruh dimana saja menjadi terlalu membatasi dengan geisha. Geisha menggantikan yujo dengan mepersonifikasikan semangat perubahan revolusioner pada saat itu.
Iki dilahirkan dari iklan. Iki berasalah dari keberanian khusus yang dimiliki geisha untuk seni. Misalnya sebagai tanda kekuatan karakter geisha tidak pernah mengenakan kaos kaki tabi. Cetakan-cetakan Ukiyo-e sering menunjukkan ibu jari seorang geisha tampak lebih sebagai iki saat ibu geisha berjalan di atas salju. Geisha bisa juga tampak menampakkan maskulinitas. Beberapa daerah di Edo (sekarang Tokyo) merupakan daerah munculnya iki. Di Fukugawa wilayah Edo, geisha memulai fashion dengan mengenakan pakaian dalam haori, aslinya adalah jaket pria yang menonjolkan sensualitas yang lambat laut diikuti oleh semua wanita yang mengenakan kimono.
Sekarang ini geisha bukan lagi sebagai trendsetter model. Mereka adalah penegak tradisi, mengenakan kimono setiap hari seperti yang dilakukan oleh hanya sedikit wanita Jepang. Pada kesempatan-kesempatan resmi, mereka tampak seperti yujo yang sudah punah: mengenakan make up tebal dan berat dan mengenakan kimono penuh ornamen. Namun geisha masih menjadi model jika berada dalam tempat-tempat yang lebih kecil. Berpakaian adalah bagian dari seni mereka. Hal ini membuktikan bahwa dalam pakaian dan kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka. Geisha masih menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya, berhutang untuk membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru. Jika dia bisa menampilkan karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya semakin baik. Seorang geisha mencari tamu murni dengan seni yang ada di komononya sebagai pintu untuk memasuki dunianya. Walaupun gesiha tidak lagi mempengaruhi fashion secara umum, mereka masih terus membuat model baru untuk kimono, pada tahun 1970 geishalah yang pertama kali memulai fashion dengan komono pastel.
Bagi orang Barat mungkin menjadi teka-teki bahwa daya tarik geisha seharusnya berubah seiring usia. Ada dua jenis geisha. Geisha yang cantik, yang karena kecantiannya segera mendapatkan jodoh. Mereka pensiun karena kerut. Jenis lain adalah geisha yang tidak tergantung pada kecantikanya namun pada kepandainnya berbicara. Mereka mendapatkan tamu dengan kepandaian kata-katanya. Dia tahu kekuatan anekdot dan seni merayu tanpa menyerang. Dibalik senyum dan rasa humornya mereka lebih manusiawi. Geisha jenis ini yang bisa-bisa mempunyai hanamachi di masa tuanya dan lebih banyak dirindukan setelah kematiannya.

SENI SEORANG GEISHA



Kebanggaan seorang geisha tergantung paga gei atau seninya. Gei merupakan hal penting bagi geisha sejak profesi ini mulai ada, ketika geisha disewa karena kemampuan menari dan menyanyinya. Sekarangpun tetap sama, ketika seorang wanita muda menjadi geisha sebagian besar adalah karena kecintaan mereka terhadap musik dan tari tradisional. Sebagai seorang geisha mereka dapat tampil sebagai profesional, bukan sebagai amatir.
Gei seorang geisha terutama terbentuk dari permainan shamisen dan tari tradisional, namun hal tersebut juga menjadi arah bagi seni tradisional lainnya seperti: kaligrafi, kemampuan menulis puisi, dan jamuan minum teh. Geisha pada masa sebelum perang, yang mengikuti pelatihan yang sangat keras, sangat ahli dalam berbagai jenis musik dan tari. Geisha jaman sekarang sebagain besar hanya menguasai satu jenis musik atau tari.
Geisha harus tahu persis tentang seni agar seni bisa menjadi karakternya yang kedua. Pertama-tama mereka belajar dengan hafalan. Belajar dengan hafalan ini penting agar seorang geisha dapat menyesuaikan diri dengan penyanyi dan penari. Semakin spontan keadaannya, semakin besar daya tarik seninya.







0 komentar:

Posting Komentar